Sebut Saja Ini "PROLOG"
Ini bukan cerita yang kau bisa harapkan senyuman di akhir ceritanya. Juga bukan cerita yang telah diketahui bagaimana akhirnya. Mungkin akan menorehkan rasa penasaran dan sedikit curiga di benakmu, tapi itu menyenangkan bagiku. Jadi, lanjutkan saja, aku menikmati gerakan matamu yang membacanya. Kau akan menemukan beberapa kata yang kuingat dari segelintir orang dalam kehidupanku. Jika kau salah satunya, maka kau beruntung, tandanya kau berhasil menjadi inspirasi bagiku. Haruskah aku berkata, ‘Selamat Membaca’?
“Gue nggak tau kangen itu sesuatu yang harus diomongin.” – Seseorang yang menyebalkan, namun selalu dirindukan.
Aku mencintaimu.
Kau mencintaiku atau tidak, itu urusan lain.
Dua kalimat dalam papan iklan sebuah toko daring berlatar belakang kuning menyala berhasil menarik perhatianku. Aku menghentikan langkah sejenak untuk menyenderkan bahuku di tiang penyangga jembatan. Kuabadikan dua kalimat itu dalam sebuah jepretan dari kamera micro lens yang baru aku beli tiga Minggu yang lalu. Walaupun hasilnya tidak maksimal, karena aku tidak paham cara memotret, namun foto tersebut akan aku simpan.
Malam ini aku berjalan melewati tangga busway yang menyambungkan satu halte dengan halte lainnya. Sengaja kutinggalkan ‘Si Biru’ di garasi supaya ia tidak harus beradu mesin dengan ratusan mobil lainnya di Jakarta. Jika banyak orang membenci Jakarta, maka aku tidak. Aku menyukai Jakarta. Terlebih ketika aku harus berdesakan dengan orang-orang di dalam busway. Menyaksikan orang-orang yang berjuang untuk satu tujuan.
Aku melanjutkan perjalanan yang masih cukup panjang. Sekitar 500 meter lagi baru aku bisa sampai ke halte berikutnya. Card tag-ku berirama mengikuti gerakan tubuhku menapaki jembatan seng yang kalau diinjak, mengeluarkan bunyi ribut. Tidak, aku tidak bermaksud menyombongkan namaku yang berada di bawah logo satu majalah fashion terkenal di card yang sedang kukenakan. Tidak juga ingin menunjukan deretan huruf membentuk nama jabatanku yang terpampang di bawah fotoku yang sedang tersenyum simpul. Ah lihat, tanpa sadar aku memberikan kesan sombong. Padahal aku hanya suka memakai card tag sebagai pelengkap style-ku saja, tidak ada maksud lain. Lagipula, tali yang berwarna merah merah ini tampak cocok untuk kupadukan dengan loose sweater abu-abu kesayanganku.
Kembali membicarakan tentang papan iklan daring tadi, pikiranku mendadak berfokus pada satu subjek. Padahal aku tidak menyetelnya demikian. Namun kemampuan otak manusia untuk menyetel memori bersifat otomatis, kita tidak bisa melarang atau menghentikan memori memainkan perannya dalam pikiran. Begitu juga dengan hati. Seakan pikiran dan hati adalah dua sahabat namun saling membenci, keduanya berkecambuk begitu aku membayangkan satu wajah. Sial. Bagaimana bisa sebuah papan iklan daring saja membuatku mengingatnya kembali?
Lucky me, aku bisa mengontrol pikiranku untuk menomorduakan papan iklan itu dan mencari celah di antara orang-orang yang berjuang untuk pulang. Tidak peduli seawet apa parfum yang sedang kukenakan, aku yakin Septa, teman satu apatemenku, akan melontarkan sejuta keluhannya karena aku pulang dengan bau badan yang telah bercampur dengan puluhan orang di halte ini. Walaupun aku membeli parfum sebagai korban ‘push marketing’ dari seorang usher tampan yang menawarkan parfum dengan harga mencekik, berani bertaruh bau parfum ini akan dengan mudah terkalahkan.
Bis tujuanku datang. Gerombolan orang menyiapkan amunisi perang untuk berdesakan memperoleh celah. Kuperhatikan orang-orang yang berada di dekatku. Mereka rela berjuang untuk pulang, atau mungkin untuk pergi. Mereka memiliki tujuan, mungkin seseorang menunggu mereka di rumah. Mungkin mereka memegang janji untuk kembali. Mungkin mereka telah memiliki rencana untuk menghabiskan sisa malam ini.
Oh ya, tentu aku juga punya rencana. Sebuah laptop 13 inc menungguku dengan setia di kamar dan aku punya janji untuk menyelesaikan semua deadline yang kutuliskan di sticky notes dinding kamarku. Tidak, tidak ironis kok. Aku menikmatinya. Semua kesibukan ini bisa kunikmati. Setidaknya aku yang memilih jalan seperti ini.
Busway bergerak melaju ke halte berikutnya. Mendekatkanku pada jalan pulang, yang aku tidak tahu ke mana arahnya.
Liza Anggraini 16/04/2016