Empat Titik
Malam ini, anugerah datang
menyapaku. Kubuka jendela apartemen mempersilahkan angin malam masuk ke kamar.
Lantunan piano Leyton Stills menemani malamku yang sepi. Aroma lavender dari lilin yang kunyalakan
menyeruak lembut ke seisi kamar. Membantuku untuk tetap tenang, walau sepi yang
datang sering menakutkan.
Sambil meresapi teh hijau, aku
teringat kata-kata Roni siang tadi.
“Kemana saja kau selama ini?”
Setiap hari, aku bertahan. Dari
kesepian, dari kecemasan, dan dari ketakutan akan esok hari. Alih-alih bertemu
dengan orang-orang yang kucintai, yang merindukanku, aku memilih untuk bungkam
dalam kesendirian. Ada waktu dimana aku takut waktu berputar terlalu cepat,
sedangkan aku merangkak terlalu lama. Ada satu titik air mata yang tidak
berlanjut, ada pula bibir yang membisu dalam sujud.
Tapi, aku bertahan, setidaknya
sampai saat ini.
“Aku melanjutkan S2.” Jawabku sambil nyengir, berusaha menutupi rasa
bersalah.
Roni menatapku nanar. Aku memang tidak bisa berbohong dengan laki-laki
satu ini. “Kenapa kau tidak memberitahuku?”
Aku bergerak menggaruk kepala yang tentu saja tidak gatal. “Ini aku
sudah beri tahu”
“Kenapa kau tidak bisa dihubungi?”
“Aku perlu waktu sendiri untuk belajar. Kau tahu-lah, kuliah di luar
sangat berbeda dengan di sini. Apalagi untuk otak sepertiku, he-he” Oh, lelucon
apa ini? Bahkan aku lupa caranya bercanda.
“Sudah berapa lama kau seperti ini?” Kali ini tatapannya tajam, seperti
sudah muak dengan permainanku.
Terdiam. Inilah yang harus aku lakukan ketika akhirnya aku berani
membuka diri kembali. Menjelaskan semuanya, berkali-kali, dan meyakinkan kalau
aku baik-baik saja. Roni beranjak dari kursinya, berjalan ke arahku, kemudian
memelukku erat. Sebuah pelukan yang aku rindukan. Kutenggelamkan mukaku di
pelukannya. Ia mengusap rambutku pelan, membuatku tak kuasa menahan air mata
yang selama ini dibendung.
Mataku menerawang. Mencerna apa
yang terjadi hari ini. Kepulanganku ke Indonesia sungguh melelahkan. Tentu saja
aku harus menjawab ribuan tanda tanya yang diarahkan kepadaku. Pelukan hangat
yang sempat hilang, senyuman manis orang-orang yang kucintai perlahan datang
lagi. Namun, apakah aku sudah baik-baik saja?
Sebelum memulai tenggelam dalam
kata yang kurangkai, aku memandang ke luar jendela. Melihat hiruk pikuk Jakarta
dari lantai 30. Termenung. Yah, aku belum sepenuhnya kembali. Kuhirup teh
hijauku sampai habis, kuletakkan cangkirnya di atas meja. Kemudian dengan pelan
aku duduk di depan layar laptop. Memejamkan mata, dan berbisik pada diri ini.
“Aku kembali.”