Reading
2
Comments
“Sometimes you don’t know when you’re taking the first step through a door until you’re already inside.” ― Ann Voskamp, One Thousand Gifts: A Dare to Live Fully Right Where You Are.
Mungkin hal yang kulakukan sekarang akan dianggap bodoh
olehnya. Tapi siapa peduli sekarang? Toh aku sudah berjanji untuk melupakannya.
Begitupun dengan lelaki itu, tanpa berjanji pun aku tahu ia dengan cepat akan
melupakanku. Melupakan semua kenangan manis yang aku yakin hambar baginya.
Menikah muda, yah, tentu tidak ada salahnya bagi sebagian orang. Namun akan
menjadi kesalahan apabila mantan kekasih tiba-tiba memberikan undangan
pernikahan, dan terlihat namanya bersanding dengan nama sahabatku. Aku tidak
perlu tahu alasan apa yang akan mereka katakan, tiba-tiba pikiranku sudah pergi
entah kemana.
Kuta,
disinilah aku sekarang. Duduk di atas pasir putih pantai sambil memandangi
matahari yang tenggelam. Tentu akan terdengar romantis jika hal tersebut
kulakukan dengan pasangan. Memikirkannya saja hatiku sudah sakit lagi.
Kubiarkan rambutku tergerai ditiup angin sore, berharap perasaan benciku juga
ikut tertiup. Namun ternyata yang timbul adalah kenangan satu tahun lalu. Rey,
nama lelaki itu, ia mengajakku ke Bali hanya untuk memperlihatkan indahnya sunset. Saat itu tidak ada hal yang
lebih romantis selain yang ia lakukan terhadapku, sampai belakangan aku tahu ia
juga melakukan hal yang sama pada sahabatku.
Matahari
telah tenggelam dengan sempurna. Para pasangan yang daritadi ikut melihat sunset juga telah bergegas untuk kembali
pulang entah kemana. Mau tidak mau aku juga turut bergegas mengemasi
barang-barang yang kubawa. Aku tidak mau kedinginan di pantai saat malam hanya
dengan mengenakan bikini dan kain tipis seperti ini. Lagipula, manatahu ada
lelaki yang tertarik padaku untuk kenalan. Hei, bukankah itu hal bagus?
“Sudah mau
pulang?”
Benar saja.
Dengan pakaian seperti ini di malam hari, setidaknya pasti ada yang akan
menyapaku. Aku menoleh ke arah datangnya suara bass itu.
“Roni?”
Lelaki itu
mengembangkan senyum. Ternyata selama ini ia mulai membiarkan kumisnya tumbuh.
Saat ia tersenyum tadi, entahlah, terasa tulus dan membuatku menyukai
senyumannya yang seperti itu.
“Kamu
kesini juga?” tanyaku yang baru sadar bahwa ia sedang menduduki tikar yang
disewakan oleh penjual di sekitar pantai. Tandanya ia sudah cukup lama duduk
disitu, dengan jarak hanya sekitar dua meter dari tempatku.
“Sejak tiga
jam yang lalu.” Jawabnya sambil memandangiku.
Dipandangi
seperti itu aku jadi tidak enak. Well, aku memang sengaja memakai bikini untuk
berjemur hari ini. Tapi setahuku, Roni bukan tipe cowok mesum yang baru melihat
cewek memakai bikini bisa memandang takjub seperti yang ia lakukan sekarang.
Walau sebenarnya aku tidak tahu jelas sifat Roni seperti apa.
“Is there anything wrong?”tanyaku.
Ia segera
menggeleng dan mengalihkan pandangan ke arah lain. “No. Aku cuma heran kamu bisa melamun selama tiga jam sampai
akhirnya sadar.”
Aku
terkekeh ringan. Ternyata itu yang ia pikirkan. “Aku juga heran selama tiga jam
kamu tidak menegurku duluan. Padahal aku yakin kamu sudah tahu aku duduk dua
meter di sebelahmu sejak tadi,”
“Aku tidak
mau menganggu ketenanganmu,” jawabnya sambil menoleh ke arahku. Lalu ia seolah
menekankan suaranya, “Selain itu kamu juga tidak pernah sadar akan kehadiranku
di dekatmu.”
Lalu ia
berpaling lagi sambil menatap kosong laut di depan kami. Entah apa yang
terjadi, namun perkataan terakhirnya terdengar aneh di telingaku. Sekitar 5 detik
kami terdiam dan hanya memandangi laut. Aku bahkan tidak tahu mau berkata apa.
“Coffee?” tawarnya memecah keheningan
lima detik yang terjadi.
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Ia segera menggulung tikar dan berdiri di
sebelahku. “Mungkin ini akan membuatmu lebih nyaman.” Roni tiba-tiba memakaikan
jaket ke tubuhku.
“Oh,
thanks,”
Kami
menyusuri jalanan pasir pantai malam itu. Para pedagang mulai ramai menjajakan
jajanan khas serta para turis yang ikut meramaikan malam di Kuta. Dengan segala
rasa penasaranku terhadap lelaki ini, sambil memeluk jaket yang ia pinjamkan,
aku berharap malam ini dapat berjalan lebih lama dari biasanya.
*
Jam
digitalku menunjukkan pukul dua belas malam. Aku masih terjaga di atas tempat
tidur hotel sambil berselimutkan selimut tebal. Memandangi layar televisi yang
masih terus menyala. Padahal pikiranku jelas sekali bukan tertuju pada gambar
bergerak disana. Hari ini, mantan kekasih dan mantan sahabatku melangsungkan
akad nikah. Walau tidak mengambil undangannya, aku sempat melihat tanggal
pernikahan mereka. Mulai dari hari ini, mereka sudah resmi menjadi sepasang
suami istri. Entah apakah aku masih sanggup untuk melihat wajah keduanya di
kampus nanti. Atau bahkan apakah aku masih sanggup untuk meneruskan kuliahku di
kampus yang sama dengan mereka?
Aku
menelungkupkan wajah menggunakan selimut. Sudah cukup aku menangis. Aku tahu
hari ini akan datang. Itulah alasan mengapa aku berada disini, jauh dari
mereka, jauh dari rasa sakit yang akan aku rasakan. Berkali-kali aku meyakinkan
hati bahwa aku harus bertahan. Hidup masih panjang. Itusih kata orang bijak.
Sayangnya aku tidak cukup bijak untuk bisa yakin bahwa hidupku masih panjang
atau tidak.
Handphoneku bergetar. Tertera nama Roni
di layar, ia mengirim sebuah pesan.
Kalau kamu
belum tidur, coba buka cartoon network. Ada film favoritmu sejak SMA.
Aku segera
mengambil remote TV dan mengganti channel
yang dimaksud. Benar saja, aku langsung tersenyum senang begitu melihat kartun
favoritku sedang diputar. Entah sejak kapan aku sudah tidak menonton kartun ini
lagi. Dan aku merasa benar-benar butuh untuk menonton hiburan semacam ini
sekarang. Aku membalas pesan Roni.
Bagaimana
kamu tahu? Hahaha aku senang sekali kartun ini!
Sejak minum
coffee bersama dua hari yang lalu, sesekali Roni mengajakku ke café untuk
sekedar mengobrol sambil makan malam. Aku baru menyadari bahwa Roni telah
banyak berubah sejak masuk universitas. Namun yang kuketahui hanya dari segi
fisik. Karena sejak SMA, aku hanya mengenal Roni sebagai teman bertegur sapa,
bukan teman akrab yang bisa mengobrol lama. Tubuhnya sekarang lebih berisi dan
berotot, mungkin ia mulai ikut ngegym
seperti yang dilakukan oleh kebanyakan lelaki lainnya. Dan harus kuakui ia
tampan. Aku baru sadar mengapa wanita-wanita dari SMA hingga di kampus saling membicarakan Roni.
Anehnya, mengapa aku baru sadar sekarang?
Aku dan
Roni masuk di unit kegiatan mahasiswa yang sama. Saat SMA juga kami tergabung
dalam anggota OSIS. Tapi seperti yang kukatakan tadi, kami jarang sekali
mengobrol. Jika ada bahan yang kami obrolkan, itu tidak jauh dari masalah tugas
atau kegiatan-kegiatan lainnya. Setelah beberapa hari mengenalnya lebih dalam,
aku merasa heran kenapa dari dulu aku tidak bisa akrab dengannya. Padahal ia
pribadi yang asik dan nyambung kalau diajak cerita.
Kamu selalu
menonton itu kalau sedang di ruang OSIS
Aku
terkekeh membaca pesan balasan dari Roni. Ternyata ia memperhatikanku. Aku
tidak yakin bahwa mantan kekasihku tahu bahwa aku senang dengan kartun ini. Ah,
aku tidak mau membahasnya lagi.
Jadi kamu
diam-diam memperhatikanku? Apalagi yang kamu tahu tentangku?
Menit-menit
berikutnya diisi dengan pesan-pesan yang selalu membuatku bisa tersenyum. Aku
juga merasa excited sekali dengan
Roni dan segala hal baru yang aku ketahui darinya. Harus kuakui, dua tahun
berpacaran dengan Rey membuatku susah untuk dekat dengan teman lelaki yang lain. But now I am free! Aku bisa dekat dengan siapa saja.
Jam lima
pagi ini kita ke pantai. Aku akan jawab segala yang aku tahu tentangmu. PS :
Disarankan untuk nggak pakai bikini dan kain yang tipis. Udara pagi disini
dingin sekali loh.
Aku
tersenyum dan segera menjawab. Okay, see you there.
*
Ternyata
alasan Roni mengajakku ke pantai jam lima pagi adalah untuk jogging di sekitar
pantai. Entah ini adalah hobi barunya atau apa, tapi ia memaksaku untuk
mengikutinya. Setelah lima belas menit berlari mengitari pantai, akhirnya ia
mengajakku duduk di salah satu bangku pantai. Udara pagi yang cukup mulai
terasa hangat karena keringat yang muncul oleh lari lari kecil barusan.
“Jadi ini
alasanmu mengajakku untuk ke pantai subuh begini?” tanyaku heran.
“Not really. Seebentar lagi kamu bakal tahu”
jawabnya penuh rahasia.
Aku
mengangkat bahu. “Well, jadi apa aja yang kamu ketahui tentangku?”
“Kamu mau
membahas itu sekarang?” tanyanya sambil menatapku serius. Aku mengangguk kecil.
Sebenarnya aku kurang yakin, namun rasa penasaranku tentang lelaki ini sudah
cukup banyak.
Ia memulai
ceritanya dengan menghela nafas panjang. “Aku sudah tahu kamu sejak awal masuk
SMA. Sejak itu aku ingin kenalan secara langsung, tapi entah kenapa waktunya
selalu tidak tepat. Dan perlu diketahui bahwa aku sudah mulai suka denganmu
saat itu juga.”
Aku melongo
spontan. “Bagaimana bisa—“
“Jangan
dipotong dulu,” pinta Roni sambil menutup bibirku dengan telunjuknya. Aku
terdiam. “Aku suka kamu dan segala keunikan yang kamu perbuat. Saat aku tahu
kalau kita sama-sama masuk anggota osis, aku senang bukan main. Aku berharap
bisa lebih dekat denganmu melalui kegiatan itu. Namun ternyata Kak Nico, ketua
osis kita dulu, nembak kamu dan kalian jadian. Alhasil aku hanya bisa
mengagumimu dari kejauhan. Aku sering memperhatikanmu sedang menonton film
kartun di ruang osis dan tertawa senang saat itu.”
Aku
tersenyum kecil. Tidak pernah kusangka ada lelaki yang memperhatikanku selama
itu. Lalu Roni meneruskan ceritanya. “Saat kita akan masuk kuliah, awalnya aku
menyangka kita tidak akan berada dalam satu kampus. Aku sudah berkeinginan
untuk melupakanmu jika memang kita tidak dalam kampus yang sama. Ternyata kita
bertemu di satu unit kegiatan mahasiswa. Sejak saat itu aku bertekad untuk bisa
mengenalmu lebih jauh. Namun, lagi-lagi, aku selalu terlambat. Kamu jadian
dengan Rey dan benar-benar jatuh cinta kepadanya.”
“Aku….aku
sudah selesai dengannya.” Potongku begitu mendengar nama itu disebut.
“Aku tahu
hal itu. Karena itulah aku kesini. Aku sudah memperhatikanmu sejak lama.
Mendekatimu sejak lama. Namun kamu sendiri tidak pernah sadar akan kehadiranku.
Jika diibaratkan dengan pintu, kamu berusaha untuk membuka pintu yang terkunci.
Sedangkan kamu tidak pernah sadar bahwa ada pintu yang terbuka di dekatmu.”
Aku
benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Siapa yang menyangka hari seperti ini
akan terjadi? Namun apa yang dikatakan oleh Roni benar. Aku selalu berusaha
untuk membuat Rey jatuh cinta padaku, namun kenyataannya itu tidak akan pernah
terjadi. Pintunya terkunci. Dan sekarang aku baru menyadari ada pintu yang
selalu terbuka.
“Maaf…. Aku,
aku tidak pernah sadar bahwa kamu mendekatiku. Aku terlalu berfokus pada
laki-laki lain..” ujarku pelan.
Roni
menggeleng. “Sudalah tidak apa-apa itu sudah berlalu. Hei, ini dia yang mau aku
tunjukkan padamu” ujarnya sambil menunjuk ke arah lautan. Aku menyipitkan mata
karena sinar matahari yang mulai mengenai daratan pantai. “Sunrise tidak kalah indah dibandingkan sunset” Roni tersenyum kepadaku.
Aku
memandangi sunrise yang ada di
depanku sambil bertanya-tanya apakah pintu yang dimaksud Roni masih terbuka?
Atau juga sudah terkunci rapat? Akhirnya aku memberanikan diri bertanya. “Ron,
apakah pintu yang terbuka di dekatku itu saat ini masih
terbuka? Atau sudah terkunci rapat?”
Roni
memandangku dengan seksama lalu mengembangkan senyuman khasnya. “Pintu itu
selalu terbuka untukmu”
Kata-kata
barusan membuatku tersenyum sumringah. Mungkin masih perlu waktu untuk
membiasakan diri dengan pintu yang telah lama terbuka ini, namun tidak ada
salahnya mencoba masuk ke pintu yang baru. Aku bersandar di bahu Roni sambil
menikmati sunrise. Sekarang, aku
berharap pagi akan berlangsung lebih lama. (1/24/2014)
Story
2 comments
We want more!!!
ReplyDeleteLagi ya kaaaak, bagusss...
Sering2 nonton WWE Smackdown atau RAW dan teman2nya aja kak, pasti tambah inspirasinya deh hahahaha canda:p
Terima kasih tuhan telah memberikan kemampuan, keahlian dalam menulis cerita kepada kakak ini. Tinggal Kau ketuk hatinya saja supaya dia mau berbagi semua ceritanya ke kami tanpa keraguan
Semoga Tuhan mengetuk hati Anonim ini untuk memberikan nama. Terima kasih ya.
Delete