Tiga Titik
Maka jika aku menghalangi karyamu berkembang, sudah sepantasnya kau lepaskan genggamanmu perlahan. Agar tidak memberatkan sayapmu untuk mengepak lebih jauh, lalu kau bisa melihat impianmu yang ada di balik jingganya matahari. Sesampainya kau di sana, bisa kubayangkan wajah bahagiamu yang menjadi alasanku untuk ikut tersenyum. Melihatmu terbang dari kejauhan membuatku sadar jika aku hanya akan menjadi beban bagimu, maka aku tidak akan menyalahkan cakarmu yang melepaskanku di pertengahan jalan. Kau pantas mendapatkan impianmu itu, tanpa diriku harus bersamamu.
Katanya, senyum itu menular. Ternyata benar, ketika melihatnya tersenyum setelah membukakan pintu untukku, bibirku mengembang dengan sendirinya tanpa bisa kutahan. Senyumannya masih sama, dengan tatapan yang tidak pernah bisa kubaca maknanya. Perlahan ia menunjukkan deretan gigi rapinya sambil mengucap salam dengan ramah. Melihatnya seperti itu, pikiranku melayang ke tujuh tahun di lalu, di bawah anak tangga, pertama kali aku mendengar lelaki mengucapkan namanya. Tanpa bertanya kehendakku, rasanya jantungku seenaknya berdetak lebih cepat. Mungkinkah menemui mantan di siang bolong seperti ini merupakan hal yang tepat?
Ketika ia mempersilahkan masuk, seketika aku membenci angin yang berhembus ketika ia membalikkan badannya. Aroma tubuh pria itu menghembus secara kurang ajar melewati indra penciumanku, yang langsung bernostalgia dengan teman lama. Aku memejamkan mata, ingin memaki diriku sendiri. Ini adalah ide buruk, tidak seharusnya aku mengikuti perkataan Septa dan berakhir di rumah seseorang yang kucintai tujuh tahun lalu. Dengan berang aku tidak ingin menambahkan kata “sejak” pada kalimat terakhirku.
“Aku senang kita bisa bertemu lagi,” ujarnya sambil menatapku yang duduk di hadapannya.
Aku tersenyum canggung. “Aku....juga senang.”
Jawaban macam apa yang terlontar dari mulutku itu?!
Terlihat ia sedikit terkejut. Namun kembali tersenyum ramah. “Kau bilang Johan akan menikah, tolong sampaikan ucapan selamat dariku untuknya”
“Kau bisa menyampaikannya sendiri jika kau mau. Aku yakin Johan tidak keberatan kalau kau datang, toh kalian saling mengenal,” ucapku. Yang tidak kuucapkan adalah, “Johan hampir ingin memukulmu ketika tahu kau meninggalkanku malam itu.”
Ia menimbang-nimbang sejenak. “Aku tidak yakin akan berada di Jakarta tahun depan,” lalu kembali menatapku. “Kecuali ada alasan bagiku untuk tetap di sini.”
Apa pula maksudnya itu?
Kami terdiam sejenak. Rasanya sungguh aneh, aku tidak tahu harus berbuat apa. Otak dan hatiku sepertinya sedang berdebat untuk memutuskan apa yang harus kulakukan. Sebelum sempat memutuskan, sebuah suara yang kukenal datang.
“Harist, siapa yang datang?” pemilik suara lembut itu muncul dari balik tirai yang menutupi ruang tamu. Saat tatapan kami bertemu, ia langsung berteriak histeris. “Nora!”
Kami berpelukan. Pelukan seorang kakak perempuan yang begitu kurindukan. Ia memelukku erat, bagai ingin menghukumku karena tidak menemuinya selama beberapa tahun ini. Saat ia akhirnya melepaskan pelukannya, ia memperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah, lalu kembali memelukku. Aku tidak tahu kalau bertemu dengannya akan membuatku sebahagia ini.
Harist, adalah nama lelaki yang kudatangi hari ini. Dan saat ini aku sedang berpelukan dengan kakak perempuannya, Tiara. Aku sedang malas untuk menceritakan bagaimana aku dan lelaki itu bisa bertemu, namun aku tidak keberatan untuk menceritakan padamu bagaimana kami berpisah.
Aku tidak melepaskannya, ia yang melepaskanku malam itu. Setidaknya itu yang kupikirkan selama ini. Aku terlalu takut untuk mendengarkan semua penjelasan yang keluar dari mulutnya. Seolah semua kata yang ia sampaikan akan menyakitiku dan aku takut tidak kuat untuk menahan rasa sakit yang ditimbulkan. Jadi, setelah ia mengatakan bahwa ia tidak mencintaiku, aku menganggapnya sebagai ucapan selamat tinggal yang pahit. Kemudian aku mulai membenci fakta bahwa selama kami bersama, rasa yang tumbuh tidak seimbang. Maka tindakannya melepaskanku di pertengahan jalan adalah tindakan yang tepat. Membiarkan ia dengan hobi dan ambisinya, dan aku mulai menjauh dan tidak mau bertemu dengannya.
Namun, apakah setelah tujuh tahun ini semuanya sudah baik-baik saja?
“Aku membaca artikelmu,” ia menatapku yang sedang menggendong Bulan, anak pertama Kak Tiara. Tak beberapa lama setelah aku bersapa dengan Kak Tiara, ia izin pergi untuk menemui suaminya, dan menitipkan anaknya bersama aku dan Harist. Setidaknya kehadiran Bulan dapat mengurangi rasa canggung yang muncul seenaknya. Balita kecil ini terlalu lucu untuk diabaikan.
“Wow, seorang H.K Ahmad membaca artikelku,” kataku santai disusul dengan cengirannya. “Harusnya tadi aku membawa buku karanganmu, jarang sekali bisa mendapatkan tanda tangan langsung dari penulisnya,”
Kami kembali diam. Sesekali hanya terdengar celotehan Bulan di pangkuanku. Mungkinkah pria itu keberatan dengan kehadiranku? Kenapa ia tidak berbicara? Astaga, mungkinkah ia takut melukai seseorang? Mungkinkah dia memiliki orang yang dicintai?
“Harist, aku—“
“Ya?” tanyanya cepat sebelum sempat aku berkata.
“Aku datang menemuimu untuk meminta saran. Aku tidak bermaksud mengganggumu, sungguh, aku hanya ingin meminta saran. Kalau kau keberatan aku—aku akan pergi,”
Ia menggeleng sambil mengibaskan tangannya. “Tidak, aku tidak keberatan. Sudah kubilang aku sangat senang bertemu denganmu lagi. Hanya saja....” ia terdiam sejenak. “Hanya saja aku bingung untuk berkata apa, kita sudah lama sekali tidak bertemu,”
Oh. Akhirnya aku menceritakan maksud kedatanganku, serta meminta saran untuk permintaan Johan itu. Ia mendengarkan dengan seksama, ia selalu menjadi pendengar yang baik, dan itu tidak pernah berubah.
“Kita bisa membuatnya bersama, kalau kau mau,” ujarnya.
“Benarkah?”
Ia mengangguk. Aku senang, benar-benar senang. Tidak sia-sia aku mengikuti saran Septa untuk menemui Harist, dengan begini aku yakin puisi yang akan kuberikan untuk Johan akan memuaskan. Tidak seperti puisi konyol buatanku sendiri. Lagipula, mungkin proyek puisi ini akan menjadi penyambung tali pertemanan antara aku dan Harist. Pria ini adalah teman yang baik, tidak seharusnya aku menolak untuk tetap berteman dengannya.
Ia mengelus lembut rambut Bulan dengan penuh sayang. Aku tersenyum sendiri ketika membayangkan jika ia kelak menjadi seorang Ayah. Kemudian sebuah kilau menyapu perhatianku. Aku tertahan, mengerjap untuk memastikan kilau yang membunuh senyumku dalam hitungan detik. Sebuah cincin.
Liza Anggraini. 10 Oktober 2016. 0:02AM.