Dua Titik


Saat kuseduh teh hijau, pikiranku singgah pada satu bayangan yang pernah menetap dalam pikiranku beberapa waktu lalu. Pelan-pelan kuresapi teh hangat dengan aroma yang begitu aku cintai sambil terus mencari sosok pemuda itu dalam pikiranku. Begitu bibir bersentuhan dengan panasnya seduhan teh, sebuah senyum melintas dan memberiku sebuah ingatan tentang orang lain. Aku mengecap dan menyadari bahwa tehku pagi ini sedikit pahit, entah karena aku yang sengaja tidak menambahkan gula, atau bayangan pahit yang kembali datang.

Septa menyeret langkahnya menuju dapur. Dengan enggan ia merogoh kotak sereal untuk memeriksa apakah isi kotak tersebut dapat menjadi santapannya. Kemudian ia membuka kulkas untuk mengambil susu sebagai pendamping serealnya.

“Selamat pagi dunia,” sapanya setelah suapan pertama.

Aku menoleh. “Sekarang jam satu siang.”

Ia terkekeh ringan. “Di salah satu bagian dunia, sekarang masih pagi,”

Aku tidak merespon apa-apa. Pikiranku disibukkan dengan kebodohan yang kulakukan Minggu lalu. Ya, aku menerima permintaan Johan. Aku yakin sebagian besar dari kalian mengira Johan melamarku. Aduh, kata ‘melamar’ terdengar begitu familiar sampai aku takut untuk mengingatnya. Tidak, Johan tidak memintaku untuk menjadi istrinya, well yah, tentu saja tidak. Dia punya Erna, perempuan seumurku yang berparas cantik khas Manado, yang akan menjadi istrinya dalam hitungan bulan. Erna yang dulu pernah menabrakku dengan sengaja menggunakan Livinanya, setelah dua hari sebelumnya Johan menginap di apartemenku. Sekarang, jika aku dan Erna bertemu, kami saling memberikan senyum dan menempelkan pipi masing-masing. Seolah-olah membuat goresan luka di bahu seseorang dengan 5 jahitan adalah hal yang sewajarnya terjadi.

“Kau sudah menemukan inspirasi untuk permintaan Johan?” Septa seolah membaca renunganku.
Aku menggeleng pelan. “Aku bingung. Menulis puisi untuk pernikahan seseorang rasanya terlalu berat.”

“Oh, ayolah. Jutaan orang telah membaca karyamu, sedangkan yang datang di pernikahan mereka tidak akan lebih dari lima ratus orang kurasa. Lagipula, tidak semua orang akan tertarik melihat foto pre-wed dengan puisi.” Ia terdiam sesaat, menerka-nerka apakah yang ia katakan benar. “Ya setidaknya orang sepertiku tidak peduli dengan foto-foto pre-wed macam itu.”

Mudah bagi Septa, yang seorang akuntan untuk mengatakan hal tersebut. Tapi aku mengiyakan ucapannya, toh tidak semua orang tertarik untuk melihat foto pre-wed ketika menghadiri sebuah pernikahan. Kecuali jika Johan, dengan segala rasa percaya diri dalam jiwanya, secara sukarela membagikan foto pre-wednya kepada seluruh tamu undangan.

Lelaki itu memintaku untuk membuatkan lima puisi untuk diletakkan di beberapa foto pre-wednya kelak. Dia tahu menulis adalah pelarianku sejak dulu. Namun yang ia tidak tahu, aku tidak bisa menulis karya macam itu dengan sengaja. Aku memerlukan, bagaimana cara menyebutnya, situasi yang pas, dengan perasaan yang dalam pula.

“Tapi menulis puisi seperti itu tidak mudah. Terlebih lagi ini untuk satu momen yang sakral, yang tidak mungkin aku bisa bermain-main membuatnya. Lalu, bagaimana bisa aku membuat puisi tentang dia dan Erna, padahal wanita itu pernah hampir kumasukkan ke penjara.”

“Aku tahu,” Septa menatapku seolah menyadari sesuatu. Aku mengangkat alisku menunggu kelanjutannya. “Kau perlu bantuan orang yang tepat. Kau perlu seseorang yang mahir,”

“Siapa?” tanyaku polos.

Septa memutar bola matanya geram. “H.K Ahmad,”

Aku tersentak sesaat. Ide yang dicetuskan Septa benar-benar cemerlang. H.K Ahmad adalah seorang penulis novel dan puisi tanah air yang namanya cukup bergema dimana-mana. Beberapa bukunya berderet di kamarku. Sengaja kubeli waktu itu untuk mencari tahu kebenaran bahwa ada namaku di salah satu tokohnya.

“Kudengar Minggu ini ia sedang di Jakarta. Kau bisa menemuinya, dan jangan tanya apakah ia mau menemuimu atau tidak. Semua orang yang telah membaca bukunya tahu betapa sayangnya ia pada tokoh fantasi itu,”

Aku menghela nafas sesaat. “Baiklah,”

Liza Anggraini 21/09/2016 11:50am




0 comments:

Post a Comment

My Instagram