When Green Tea Meets Black Coffee




“I sit in the corner. Enjoying my green tea. Suddenly something comes to my mind. Forcing me to explore. Then i start....” -LA




Aku memandangi tatapan teduh lelaki itu. Membunuh keramaian dan waktu yang terlewatkan begitu saja. Warna rambutnya yang kecoklatan terlihat jelas terkena sinar matahari. Aku berusaha melihat warna bola matanya. Namun apa daya, kursi cafe ini tidak bisa berputar 180 derajat begitu saja. Dan aku tidak mungkin secara terang-terangkan memutar badanku hanya untuk memastikan apakah bola matanya memiliki warna yang senada dengan rambutnya. Namun aku tetap menikmati momen memperhatikan lelaki itu, lelaki misterius yang aku temui di cafe ini.  

Black coffee. Sengaja aku sebut ia begitu karena sejak dua jam lalu ia menghirup minuman berkafein itu. Berharap-harap cemas ia tidak menyadari kehadiranku yang hanya berjarak tiga meter dari mejanya. Mungkin ia akan berprasangka aku aku adalah wanita narsis yang selalu melihat ke cermin untuk menambahkan warna pada bibir. Ya semoga saja begitu. Karena cermin besar dihadapanku saat ini adalah jembatan penghubung antara aku dan Black Coffee. Melalui pantulan cermin inilah aku dapat menemukannya.

Oh tidak, dia mau kemana?

Black coffee berjalan meninggalkan kursinya dan berbicara pada pelayan cafe. Jarinya menunjuk pada papan yang bertuliskan menu. Sengaja kutajamkan pendengaranku untuk mendengar suaranya.

“Black coffee without sugar”

Suaranya berwibawa. Suatu saat jika Tuhan berkenan memperkenalkan diriku dengannya, aku akan dengan sengaja menaikkan suaraku sekitar tiga oktaf terlebih dahulu.

Ia kembali duduk.

“Stay there..”

Entah sengaja atau tidak, suara itu muncul dari mulutku. Untungnya tidak terlalu besar. Sempat terlihat ia melirik ke arahku. Oh bukan, ke arah kaca di hadapanku.
Dua jam lalu aku memutuskan untuk singgah di cafe ini. Oky, sahabatku, bilang bahwa aku adalah seorang extrovert. Namun tidak bisa kusangkal bahwa terkadang aku menikmati kesendirian hanya untuk menghirup Green Tea. Ada rasa tenang yang muncul di tengah padatnya suasanya cafe.

Manusia akan menemui kejadian yang pedih. Tentu aku pernah mengalami rasanya kepedihan itu. Begitu pula lelaki yang sedang menghirup kopi hitamnya. Sesekali aku menemukan ia termenung dan menatap kosong ke arah luar jendela cafe. Seolah saat ini ia sedang merasakan kepedihan yang dalam, dan hanya secangkir kopi hitam yang bersedia menemaninya. Hingga akhirnya ia sadar ia harus mengganti cangkir tersebut dengan secangkir kopi hitam yang lain.

Harus kuperjelas. Ini bukan cinta pada pandangan pertama seperti yang orang-orang ceritakan. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki lain ketika aku masih memendam rasa sayang yang menyakitkan pada seorang lelaki? Tidak. Terlalu dini untuk berbicara soal cinta.

16:18. Aku beranjak pergi dan berjalan menuju kasir. Kusempatkan untuk memandang lelaki itu untuk terakhir kalinya. Secara langsung, tanpa pantulan cermin. Ia sibuk dengan iphonenya. Kuberikan senyum padanya, sengaja ketika ia tidak melihatku. 2 jam 18 menit yang menyenangkan. Aku menyangka ini adalah kali terakhir aku melihatnya, hingga Mbak-mbak kasir berkata,
“Pesanannya udah dibayar sama Kakak yang itu tadi,” tangannya mengarah pada seorang lelaki yang sedang duduk memunggungiku. Black Coffee.

Merasa terpanggil, ia membalikkan badan ke arahku. Menatap jelas mataku dengan mata coklatnya sambil tersenyum. Aku tidak bisa menahan otot-otot di sekitar bibirku untuk tidak membalas senyumnya. Until we meet again, Black Coffee.

4 comments

  1. Ini baru Liza!
    Ditunggu ya kelanjutannya, asiiiik yeay:D
    How talented you are! Eh bener ga tuh tulisannya? Hahaha

    ReplyDelete

My Instagram