Reading
4
Comments
“I
sit in the corner. Enjoying my green tea. Suddenly something comes to my mind. Forcing
me to explore. Then i start....” -LA
Aku
memandangi tatapan teduh lelaki itu. Membunuh keramaian dan waktu yang
terlewatkan begitu saja. Warna rambutnya yang kecoklatan terlihat jelas terkena
sinar matahari. Aku berusaha melihat warna bola matanya. Namun apa daya, kursi
cafe ini tidak bisa berputar 180 derajat begitu saja. Dan aku tidak mungkin
secara terang-terangkan memutar badanku hanya untuk memastikan apakah bola
matanya memiliki warna yang senada dengan rambutnya. Namun aku tetap menikmati
momen memperhatikan lelaki itu, lelaki misterius yang aku temui di cafe ini.
Black coffee. Sengaja aku sebut ia begitu
karena sejak dua jam lalu ia menghirup minuman berkafein itu. Berharap-harap
cemas ia tidak menyadari kehadiranku yang hanya berjarak tiga meter dari
mejanya. Mungkin ia akan berprasangka aku aku adalah wanita narsis yang selalu
melihat ke cermin untuk menambahkan warna pada bibir. Ya semoga saja begitu. Karena
cermin besar dihadapanku saat ini adalah jembatan penghubung antara aku dan Black Coffee. Melalui pantulan cermin
inilah aku dapat menemukannya.
Oh
tidak, dia mau kemana?
Black
coffee berjalan meninggalkan kursinya dan berbicara pada pelayan cafe. Jarinya menunjuk
pada papan yang bertuliskan menu. Sengaja kutajamkan pendengaranku untuk
mendengar suaranya.
“Black
coffee without sugar”
Suaranya
berwibawa. Suatu saat jika Tuhan berkenan memperkenalkan diriku dengannya, aku
akan dengan sengaja menaikkan suaraku sekitar tiga oktaf terlebih dahulu.
Ia
kembali duduk.
“Stay
there..”
Entah
sengaja atau tidak, suara itu muncul dari mulutku. Untungnya tidak terlalu
besar. Sempat terlihat ia melirik ke arahku. Oh bukan, ke arah kaca di
hadapanku.
Dua
jam lalu aku memutuskan untuk singgah di cafe ini. Oky, sahabatku, bilang bahwa
aku adalah seorang extrovert. Namun tidak
bisa kusangkal bahwa terkadang aku menikmati kesendirian hanya untuk menghirup
Green Tea. Ada rasa tenang yang muncul di tengah padatnya suasanya cafe.
Manusia
akan menemui kejadian yang pedih. Tentu aku pernah mengalami rasanya kepedihan
itu. Begitu pula lelaki yang sedang menghirup kopi hitamnya. Sesekali aku
menemukan ia termenung dan menatap kosong ke arah luar jendela cafe. Seolah saat
ini ia sedang merasakan kepedihan yang dalam, dan hanya secangkir kopi hitam
yang bersedia menemaninya. Hingga akhirnya ia sadar ia harus mengganti cangkir
tersebut dengan secangkir kopi hitam yang lain.
Harus
kuperjelas. Ini bukan cinta pada pandangan pertama seperti yang orang-orang
ceritakan. Bagaimana bisa aku mencintai lelaki lain ketika aku masih memendam
rasa sayang yang menyakitkan pada seorang lelaki? Tidak. Terlalu dini untuk
berbicara soal cinta.
16:18.
Aku beranjak pergi dan berjalan menuju kasir. Kusempatkan untuk memandang
lelaki itu untuk terakhir kalinya. Secara langsung, tanpa pantulan cermin. Ia sibuk
dengan iphonenya. Kuberikan senyum padanya, sengaja ketika ia tidak melihatku.
2 jam 18 menit yang menyenangkan. Aku menyangka ini adalah kali terakhir aku
melihatnya, hingga Mbak-mbak kasir berkata,
“Pesanannya
udah dibayar sama Kakak yang itu tadi,” tangannya mengarah pada seorang lelaki
yang sedang duduk memunggungiku. Black
Coffee.
Merasa
terpanggil, ia membalikkan badan ke arahku. Menatap jelas mataku dengan mata
coklatnya sambil tersenyum. Aku tidak bisa menahan otot-otot di sekitar bibirku
untuk tidak membalas senyumnya. Until we
meet again, Black Coffee.
4 comments
Ini baru Liza!
ReplyDeleteDitunggu ya kelanjutannya, asiiiik yeay:D
How talented you are! Eh bener ga tuh tulisannya? Hahaha
Sok anonim... But thanks a lot!
DeleteZa..... You make me spechless
ReplyDeleteSpeechless kenapa Na? haha
Delete