Lebih Baik Seperti Ini


“A nightmare dressed like a daydream”

Fajar hari ini menyinari pertemuan kita yang singkat. Beberapa detik kilas balik  berhasil membuat kedua warna mata kita bertemu dan menghambur mengucapkan salam. Tidak ada suara yang ikut berpartisipasi, hanya bibir yang mengembangkan senyum memberi makna lebih dari kata. Tanpa lambaian tangan, hanya dengan leher yang sedikit mendongak aku berhasil menyapu perhatianmu di keramaian. Suara deru mesin yang diikuti polusi tidak berhasil mengaburkan jelasnya titik tumpu pandanganmu saat itu. Seolah hidupmu hari itu bergantung pada sebuah titik. Mataku.



            Seperti inilah cara kami berinteraksi satu sama lain. Musim berlalu, waktu berlanjut, momen terlewatkan. Namun tidak ada satu-pun dari kami yang ingin melangkah menuju pijakan berikutnya. Berfikir bahwa hal ini adalah yang seharusnya. Bahwa dengan hanya menatap bola mata satu sama lain, kami telah berinteraksi sewajarnya.
            Musim gugur tahun lalu, tepatnya di sebuah aula kecil berlantaikan kayu, kami bertemu untuk pertama kalinya. Tidak ada sebersit keinginan di kepalaku untuk menjabat tangannya. Sepertinya ia pun berpikiran demikian. Satu jam tiga puluh menit dalam satu atap yang sama, di tengah puluhan orang, tak sepatah kata-pun kuucapkan untuknya.
            Suatu sore di musim dingin, aku memasuki sebuah supermarket untuk memesan minuman hangat. Hujan salju yang buruk hari itu ternyata menjadi alasan agar kami dapat bertemu lagi. Sesaat setelah sepatuku bergesekkan dengan lantai supermarket, sosoknya muncul di antara kerumuman orang dengan rambut yang sedikit menjuntai keluar di balik hoodie abu-abu yang ia kenakan. Detik itu juga, tanpa keraguan, ia tersenyum kepadaku. Dan yang kulakukan adalah membalas senyumannya, tanpa berfikir bahwa hal tersebut akan menjadi ritual setiap kali aku bertemu dengan lelaki itu.
            Yang terjadi berikutnya adalah kejadian-kejadian pedih yang berdatangan menguji kekuatan batinku. Bius yang diberikan kepada tubuhku telah menjalar bagai akar tunjang dengan batang yang kokoh tanpa memberi imbalan sehelai mahkota bunga sekalipun. Di masa kritis itu, ia-lah yang menjadi alasanku untuk tersenyum. Hari dimana kami secara tidak sengaja bertemu lagi di tempatku bekerja. Seperti sebelumnya, ia mengembangkan senyumnya saat menatap mataku. Entah mengapa senyum itu memberikan energi positif yang kuharap bisa menghancurkan racun yang sedang mengalir di darahku. Namun dengan cepat kutepis pemikiran itu. Tentu aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, memberikan penawar racun, yang ternyata adalah racun dengan efek yang lebih mematikan. Jadi, yang kulakukan hanya membalas senyumnya dengan pipi cekungku yang mengembang.
            Kau tahu, mengapa aku tidak pernah memberikan intensitas yang lebih pada senyuman-senyumanku? Karena aku tidak mengiginkan lebih. Bagiku, menyadari kehadiranmu di kejauhan dan mengetahui akan memiliki senyummu beberapa detik setelahnya telah membuatku senang. Sekalipun sampai musim gugur kedua ini aku tetap tidak mengetahui namamu, aku tidak keberatan. Bahkan bagiku, lebih baik seperti ini.
            Seperti fajar saat ini, ketika jarak kita dipisahkan di antara garis hitam dan putih. Aku tahu kau memandangiku dari seberang, akupun demikian. Dan tentu aku tahu beberapa detik lagi kita akan memberikan senyum yang sama, dengan intensitas yang sama, dengan tatapan yang sama, dan mungkin, dengan makna yang sama. Aku tahu betul.
            Aku mulai melangkah dan begitu pula denganmu. Pada langkah kelima, mata kita bertemu. Dan seperti biasa, aku harus mendongak untuk menatap matamu dengan jelas. Sepersekian detik selanjutnya, seolah hal tersebut otomatis, bibir kita mulai menyapa, dengan senyuman. Dua detik. Tidak lebih dari itu, lalu kita menjadi orang asing kembali. Tanpa menengok lagi ke belakang, tanpa berharap lebih.
            Lebih baik seperti ini, meskipun aku tidak tahu harus memanggilmu apa, namun aku selalu dapat teryakinkan bahwa setiap kita bertemu, akan ada senyum menyapaku.
            Lebih baik seperti ini, tanpa kau harus mengetahui karakter macam apa yang kumiliki, seberapa besar masalah yang kusembunyikan, berbagai alasan yang masih menakutiku, kau tidak akan mengubah caramu memandangku.
            Lebih baik seperti ini, rasa penasaranmu terhadapku yang belum terjawab masih terpendam dengan aman. Sehingga kau tidak harus pergi ketika menemukan jawabannya.
            Lebih baik seperti ini, tidak ada janji yang terucap lalu menumbuhkan benih kepercayaan dan kemudian menjadi akar dari racun yang kau tanam. Aku tidak perlu berharap untuk menuai janjimu dan membuang sekamnya.
            Lebih baik seperti ini, aku tidak perlu menitipkan harapan kepadamu yang kelak membuatmu menjadi orang lain.
            Lebih baik seperti ini, kau tidak perlu melihat isi kotak kelemahanku dan memudarkan senyummu yang kemudian tidak akan kau berikan lagi. Kau juga tidak perlu masuk ke dalam kotak mimpiku, yang berisi angan-angan jelata, daripada kau menjerit kesakitan lalu keluar.

Aku berhenti sejenak di seberang. Menghela nafas pelan hingga hampir tak terdengar. Senyumku telah memudar. Beberapa meter di belakangku terbayang sosoknya sedang berjalan menuju ke arah yang berlawanan. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju kampus. Merasa energi di hari itu telah terisi secara penuh, dan membuatku siap untuk bekerja seharian full. Namun, pada langkah ke lima belas, sebersit rasa ingin tahuku mencuat tajam. Kupalingkan pandanganku ke belakang, mencari sosok lelaki itu. Tepat saat kutemukan, matanya sedang mengarah padaku. Untuk pertama kalinya, mata kami berpandangan tanpa ada senyuman yang menyusul. Mata kami seolah berusaha bicara,
“Lebih baik seperti ini.”


Jkt – 09/10/2015 22:54.

4 comments

My Instagram