Reading
4
Comments
“A nightmare dressed like a
daydream”
Fajar
hari ini menyinari pertemuan kita yang singkat. Beberapa detik kilas balik berhasil membuat kedua warna mata kita
bertemu dan menghambur mengucapkan salam. Tidak ada suara yang ikut
berpartisipasi, hanya bibir yang mengembangkan senyum memberi makna lebih dari
kata. Tanpa lambaian tangan, hanya dengan leher yang sedikit mendongak aku
berhasil menyapu perhatianmu di keramaian. Suara deru mesin yang diikuti polusi
tidak berhasil mengaburkan jelasnya titik tumpu pandanganmu saat itu. Seolah hidupmu
hari itu bergantung pada sebuah titik. Mataku.
Seperti inilah cara kami
berinteraksi satu sama lain. Musim berlalu, waktu berlanjut, momen terlewatkan.
Namun tidak ada satu-pun dari kami yang ingin melangkah menuju pijakan
berikutnya. Berfikir bahwa hal ini adalah yang seharusnya. Bahwa dengan hanya
menatap bola mata satu sama lain, kami telah berinteraksi sewajarnya.
Musim gugur tahun lalu, tepatnya di
sebuah aula kecil berlantaikan kayu, kami bertemu untuk pertama kalinya. Tidak ada
sebersit keinginan di kepalaku untuk menjabat tangannya. Sepertinya ia pun
berpikiran demikian. Satu jam tiga puluh menit dalam satu atap yang sama, di
tengah puluhan orang, tak sepatah kata-pun kuucapkan untuknya.
Suatu sore di musim dingin, aku
memasuki sebuah supermarket untuk
memesan minuman hangat. Hujan salju yang buruk hari itu ternyata menjadi alasan
agar kami dapat bertemu lagi. Sesaat setelah sepatuku bergesekkan dengan lantai
supermarket, sosoknya muncul di antara kerumuman orang dengan rambut yang sedikit
menjuntai keluar di balik hoodie
abu-abu yang ia kenakan. Detik itu juga, tanpa keraguan, ia tersenyum kepadaku.
Dan yang kulakukan adalah membalas senyumannya, tanpa berfikir bahwa hal
tersebut akan menjadi ritual setiap kali aku bertemu dengan lelaki itu.
Yang terjadi berikutnya adalah
kejadian-kejadian pedih yang berdatangan menguji kekuatan batinku. Bius yang
diberikan kepada tubuhku telah menjalar bagai akar tunjang dengan batang yang
kokoh tanpa memberi imbalan sehelai mahkota bunga sekalipun. Di masa kritis
itu, ia-lah yang menjadi alasanku untuk tersenyum. Hari dimana kami secara
tidak sengaja bertemu lagi di tempatku bekerja. Seperti sebelumnya, ia
mengembangkan senyumnya saat menatap mataku. Entah mengapa senyum itu
memberikan energi positif yang kuharap bisa menghancurkan racun yang sedang
mengalir di darahku. Namun dengan cepat kutepis pemikiran itu. Tentu aku tidak
ingin mengulangi kesalahan yang sama, memberikan penawar racun, yang ternyata
adalah racun dengan efek yang lebih mematikan. Jadi, yang kulakukan hanya
membalas senyumnya dengan pipi cekungku yang mengembang.
Kau tahu, mengapa aku tidak pernah
memberikan intensitas yang lebih pada senyuman-senyumanku? Karena aku tidak
mengiginkan lebih. Bagiku, menyadari kehadiranmu di kejauhan dan mengetahui
akan memiliki senyummu beberapa detik setelahnya telah membuatku senang. Sekalipun
sampai musim gugur kedua ini aku tetap tidak mengetahui namamu, aku tidak
keberatan. Bahkan bagiku, lebih baik seperti ini.
Seperti fajar saat ini, ketika jarak
kita dipisahkan di antara garis hitam dan putih. Aku tahu kau memandangiku dari
seberang, akupun demikian. Dan tentu aku tahu beberapa detik lagi kita akan
memberikan senyum yang sama, dengan intensitas yang sama, dengan tatapan yang
sama, dan mungkin, dengan makna yang sama. Aku tahu betul.
Aku mulai melangkah dan begitu pula
denganmu. Pada langkah kelima, mata kita bertemu. Dan seperti biasa, aku harus
mendongak untuk menatap matamu dengan jelas. Sepersekian detik selanjutnya,
seolah hal tersebut otomatis, bibir kita mulai menyapa, dengan senyuman. Dua
detik. Tidak lebih dari itu, lalu kita menjadi orang asing kembali. Tanpa
menengok lagi ke belakang, tanpa berharap lebih.
Lebih baik seperti ini, meskipun aku
tidak tahu harus memanggilmu apa, namun aku selalu dapat teryakinkan bahwa
setiap kita bertemu, akan ada senyum menyapaku.
Lebih baik seperti ini, tanpa kau
harus mengetahui karakter macam apa yang kumiliki, seberapa besar masalah yang
kusembunyikan, berbagai alasan yang masih menakutiku, kau tidak akan mengubah
caramu memandangku.
Lebih baik seperti ini, rasa penasaranmu
terhadapku yang belum terjawab masih terpendam dengan aman. Sehingga kau tidak
harus pergi ketika menemukan jawabannya.
Lebih baik seperti ini, tidak ada
janji yang terucap lalu menumbuhkan benih kepercayaan dan kemudian menjadi akar
dari racun yang kau tanam. Aku tidak perlu berharap untuk menuai janjimu dan membuang
sekamnya.
Lebih baik seperti ini, aku tidak
perlu menitipkan harapan kepadamu yang kelak membuatmu menjadi orang lain.
Lebih baik seperti ini, kau tidak
perlu melihat isi kotak kelemahanku dan memudarkan senyummu yang kemudian tidak
akan kau berikan lagi. Kau juga tidak perlu masuk ke dalam kotak mimpiku, yang
berisi angan-angan jelata, daripada kau menjerit kesakitan lalu keluar.
Aku berhenti sejenak di
seberang. Menghela nafas pelan hingga hampir tak terdengar. Senyumku telah
memudar. Beberapa meter di belakangku terbayang sosoknya sedang berjalan menuju
ke arah yang berlawanan. Aku mulai melangkahkan kakiku menuju kampus. Merasa energi
di hari itu telah terisi secara penuh, dan membuatku siap untuk bekerja
seharian full. Namun, pada langkah ke lima belas, sebersit rasa ingin tahuku
mencuat tajam. Kupalingkan pandanganku ke belakang, mencari sosok lelaki itu. Tepat
saat kutemukan, matanya sedang mengarah padaku. Untuk pertama kalinya, mata
kami berpandangan tanpa ada senyuman yang menyusul. Mata kami seolah berusaha
bicara,
“Lebih baik seperti ini.”
Jkt – 09/10/2015 22:54.
Story
4 comments
Bagus banget kak
ReplyDeleteTerima kasih
Deleteceritanya selalu kaya gini, kenapa ya?
ReplyDeleteKebetulan inspirasi yang dateng selalu yang begini :p
Delete