Reading
3
Comments
"Perlu sakit untuk bisa sembuh." - Dua lensa cembung yang penuh tanda tanya.
Yang
kutakutkan dari berpisah adalah rasa kehilangan. Namun aku sadar, tidak ada di
dunia ini yang bisa dimiliki selamanya. Realita lainnya adalah bahwa di akhir
suatu kejadian, muncul risiko dengan nama penyesalan. Menjadi ketakutanku yang
kedua. Membuatku ragu untuk bertindak, membayangkan seberapa kuat aku harus
bertahan dari semua keputusan yang kuperbuat. Realita selanjutnya adalah
keharusan untuk memilih sebuah makna hidup. Memberiku ketakutan ketiga untuk
memutuskan kesalahan. Semua ketakutan itu mengantarkan aku pada sebuah
kepercayaan, yang semakin hari kurasakan sejauh aku mampu bermimpi.
Saat
aku terbangun pagi ini, sisi sebelah kanan ranjangku diberatkan oleh sesosok
pria berkumis yang sedang tidur. Suara dengkurannya sukses menjadi polusi suara
yang menjadi alasanku untuk bisa beranjak dari tempat tidur. Aku menggeliat
sebentar, menerawang dan mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.
“HEH!!”
Tiba-tiba
aku tersentak bangun. Kugoncangkan lengan pria berkaus polo putih itu kuat-kuat
hingga ia terbangun kaget.
“Aduh,
duh, Nor, sakit!” ia meringkuk sambil menarik selimutku untuk melindungi
wajahnya.
Aku
mengambil guling dan memukulinya tanpa ampun. Merasa guling tidak memuaskan,
segera kuambil sapu lidi di sudut kamar dan kembali memukulinya. Kali ini ia
bertindak gesit dengan berlari dan bersembunyi di balik lemari jati yang
berukuran tiga meter.
“Ampun
Nor, ampun” ia membuka salah satu pintu lemari dan menjadikannya sebagai
tameng. Mukanya meringis kesakitan dan bercampur takut.
Aku
menghela nafas tanpa melepaskan genggaman sapu lidiku. “Mau apa kau?” tanyaku
kesal. Ya, tentu saja kesal. Siapa yang tidak kesal jika bangun di hari Minggu
seperti ini dengan mendapati seorang pria yang tidak diharapkan tiba-tiba tidur
di sebelahmu tanpa izin?
Ditanya
seperti itu, ia malah tertawa. Kedua alisku menyatu menyusul tawanya yang belum
berhenti. Baru kusadari ternyata ia terlihat semakin berisi.
“Sebelum
aku beritahu maksud kedatanganku, lebih baik kau mencuci mukamu dulu” jawabnya
setelah kehilangan sisa tawanya.
Aku
menengok ke arah cermin di sebelah kiriku. Kemudian terpampang refleksi diriku
yang, astaga, memalukan. Seorang perempuan 25 tahun dengan daster merah lusuh
serta beberapa roll yang masih
menggantung di rambut pirangnya. Diperburuk dengan masker yang masih melekat di
seluruh bagian muka. Sungguh bukan penampilan yang ingin kau miliki ketika
bangun bagi.
“Sial.”
Aku berdecak kesal dan beranjak meninggalkan pria itu. Ternyata adalah ide
buruk ketika kau merasa sangat lelah dan masih ingin memakai masker di malam
hari.
Ia
keluar dari tempat persembunyiannya dan menarik tanganku pelan. “Nor,”
panggilnya tertahan.
Aku
menoleh, masih dengan tatapan sebal. “Aku cuci muka dulu, tidak bisakah kau
datang dengan izin terlebih dahulu? Selalu seperti ini, dari dulu—“
“28
Oktober 2017.” Potongnya cepat.
“Ha?”
Ia
menunjukkan sesuatu seolah menjawab segala rasa penasaranku pagi ini. Kedua
mataku membesar dan mulutku menganga lebar. “Oh
my God!”
Namanya
Johan. Seseorang yang mampu menilaiku lebih kejam dari siapapun. Mampu
melindungi sekaligus melemparku dari atas tebing jika aku melakukan kebodohan.
Jika ada cerita fiksi yang menggambarkan seorang pria yang lebih dari sekedar
sahabat, maka kurasa itulah dia. Johan lebih dari itu.
Harus
kuakui aku mencintai Johan. Walaupun aku sendiri kesulitan untuk menemukan
makna dari kata yang kuucapkan barusan. Sepertinya ia-pun berperasaan sama.
Namun entah itu kedewasaan atau kemunafikan yang selama ini memainkan perannya
dengan baik, sehingga kata cinta tak pernah terucap dari bibir kami berdua.
Hingga akhirnya kami memilih untuk mengatakan cinta pada orang lain. Saling
menyakiti diri sendiri dengan ketakutan akan kehilangan.
Semua
itu hanya berlangsung sampai aku duduk di semester 4 bangku perkuliahan. Hidup
tanpa Johan terasa lebih ringan hingga akhirnya kami berpisah untuk sementara.
Yang aku berhasil pelajari adalah perpisahan sementara dengannya tidak serta
merta berhasil membuatku dapat menganggapnya seperti saudara. Namun aku
mengenal Johan lebih dari itu.
Sebuah
tembok yang kokoh ternyata dapat menjadi pembatas yang sempurna untuk
memisahkan perasaan ini. Entah berapa malam kuhabiskan untuk membiarkan air
mata berusaha menggerus tembok itu namun ternyata ia tidak cukup kuat. Entah seberapa
sepi yang harus kuusir dalam benakku hanya untuk bersenang-senang. Satu hal
yang aku syukuri, semua ini terjadi.
“Bagaimana?”
Johan
menatapku teduh dengan harapan. Membuatku tidak bisa mengeluarkan kata lain
dari mulutku selain, “Oke.”
Ia
tersenyum puas. Kebahagiaan benar-benar terpancar dari sudut bibirnya. Aku ikut
tersenyum. Padahal aku tidak tahu, ini adalah awal dari guratan luka yang
kembali meradang di kemudian hari.
Liza Anggraini 06/06/2016
Story
Liza Anggraini 06/06/2016
3 comments
Johan? Kek nama gw ya
ReplyDeleteHahaha iya emg nama lo Tim
Deletehmmm~
ReplyDelete