Satu Titik


"Perlu sakit untuk bisa sembuh." - Dua lensa cembung yang penuh tanda tanya. 

Yang kutakutkan dari berpisah adalah rasa kehilangan. Namun aku sadar, tidak ada di dunia ini yang bisa dimiliki selamanya. Realita lainnya adalah bahwa di akhir suatu kejadian, muncul risiko dengan nama penyesalan. Menjadi ketakutanku yang kedua. Membuatku ragu untuk bertindak, membayangkan seberapa kuat aku harus bertahan dari semua keputusan yang kuperbuat. Realita selanjutnya adalah keharusan untuk memilih sebuah makna hidup. Memberiku ketakutan ketiga untuk memutuskan kesalahan. Semua ketakutan itu mengantarkan aku pada sebuah kepercayaan, yang semakin hari kurasakan sejauh aku mampu bermimpi.

Saat aku terbangun pagi ini, sisi sebelah kanan ranjangku diberatkan oleh sesosok pria berkumis yang sedang tidur. Suara dengkurannya sukses menjadi polusi suara yang menjadi alasanku untuk bisa beranjak dari tempat tidur. Aku menggeliat sebentar, menerawang dan mencerna apa yang sedang terjadi sekarang.
“HEH!!”
Tiba-tiba aku tersentak bangun. Kugoncangkan lengan pria berkaus polo putih itu kuat-kuat hingga ia terbangun kaget.
“Aduh, duh, Nor, sakit!” ia meringkuk sambil menarik selimutku untuk melindungi wajahnya.
Aku mengambil guling dan memukulinya tanpa ampun. Merasa guling tidak memuaskan, segera kuambil sapu lidi di sudut kamar dan kembali memukulinya. Kali ini ia bertindak gesit dengan berlari dan bersembunyi di balik lemari jati yang berukuran tiga meter.
“Ampun Nor, ampun” ia membuka salah satu pintu lemari dan menjadikannya sebagai tameng. Mukanya meringis kesakitan dan bercampur takut.
Aku menghela nafas tanpa melepaskan genggaman sapu lidiku. “Mau apa kau?” tanyaku kesal. Ya, tentu saja kesal. Siapa yang tidak kesal jika bangun di hari Minggu seperti ini dengan mendapati seorang pria yang tidak diharapkan tiba-tiba tidur di sebelahmu tanpa izin?
Ditanya seperti itu, ia malah tertawa. Kedua alisku menyatu menyusul tawanya yang belum berhenti. Baru kusadari ternyata ia terlihat semakin berisi.
“Sebelum aku beritahu maksud kedatanganku, lebih baik kau mencuci mukamu dulu” jawabnya setelah kehilangan sisa tawanya.
Aku menengok ke arah cermin di sebelah kiriku. Kemudian terpampang refleksi diriku yang, astaga, memalukan. Seorang perempuan 25 tahun dengan daster merah lusuh serta beberapa roll yang masih menggantung di rambut pirangnya. Diperburuk dengan masker yang masih melekat di seluruh bagian muka. Sungguh bukan penampilan yang ingin kau miliki ketika bangun bagi.
“Sial.” Aku berdecak kesal dan beranjak meninggalkan pria itu. Ternyata adalah ide buruk ketika kau merasa sangat lelah dan masih ingin memakai masker di malam hari.
Ia keluar dari tempat persembunyiannya dan menarik tanganku pelan. “Nor,” panggilnya tertahan.
Aku menoleh, masih dengan tatapan sebal. “Aku cuci muka dulu, tidak bisakah kau datang dengan izin terlebih dahulu? Selalu seperti ini, dari dulu—“
“28 Oktober 2017.” Potongnya cepat.
“Ha?”
Ia menunjukkan sesuatu seolah menjawab segala rasa penasaranku pagi ini. Kedua mataku membesar dan mulutku menganga lebar. “Oh my God!”

Namanya Johan. Seseorang yang mampu menilaiku lebih kejam dari siapapun. Mampu melindungi sekaligus melemparku dari atas tebing jika aku melakukan kebodohan. Jika ada cerita fiksi yang menggambarkan seorang pria yang lebih dari sekedar sahabat, maka kurasa itulah dia. Johan lebih dari itu.
Harus kuakui aku mencintai Johan. Walaupun aku sendiri kesulitan untuk menemukan makna dari kata yang kuucapkan barusan. Sepertinya ia-pun berperasaan sama. Namun entah itu kedewasaan atau kemunafikan yang selama ini memainkan perannya dengan baik, sehingga kata cinta tak pernah terucap dari bibir kami berdua. Hingga akhirnya kami memilih untuk mengatakan cinta pada orang lain. Saling menyakiti diri sendiri dengan ketakutan akan kehilangan.
Semua itu hanya berlangsung sampai aku duduk di semester 4 bangku perkuliahan. Hidup tanpa Johan terasa lebih ringan hingga akhirnya kami berpisah untuk sementara. Yang aku berhasil pelajari adalah perpisahan sementara dengannya tidak serta merta berhasil membuatku dapat menganggapnya seperti saudara. Namun aku mengenal Johan lebih dari itu.
Sebuah tembok yang kokoh ternyata dapat menjadi pembatas yang sempurna untuk memisahkan perasaan ini. Entah berapa malam kuhabiskan untuk membiarkan air mata berusaha menggerus tembok itu namun ternyata ia tidak cukup kuat. Entah seberapa sepi yang harus kuusir dalam benakku hanya untuk bersenang-senang. Satu hal yang aku syukuri, semua ini terjadi.

“Bagaimana?”
Johan menatapku teduh dengan harapan. Membuatku tidak bisa mengeluarkan kata lain dari mulutku selain, “Oke.”

Ia tersenyum puas. Kebahagiaan benar-benar terpancar dari sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum. Padahal aku tidak tahu, ini adalah awal dari guratan luka yang kembali meradang di kemudian hari.  

Liza Anggraini 06/06/2016 

3 comments

My Instagram